Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
Hakikat politik itu adalah mengelola dan memelihara kepentingan umat (umum). Namun perkembangan demokrasi di berbagai negara dunia, hakikat berpolitik menjurus pada penguasaan ekonomi.
Di Indonesia, tidak berperannya hakikat politik itu, tak bisa dilepaskan dari kuatnya motif ekonomi orang-orang yang hendak dan atau telah berada di dalamnya.
Aktor politik hari ini cenderung lebih mencari hidup dari politik (off politic) ketimbang menghidupkan politik (for politic). Politik bagi mereka semata dijadikan ajang rent seeking (perburuan rente).
Fenomena ini terjadi di semua tingkatan, dari Legislatif hingga eksekutif para kepala daerah, sedihnya motif ekonomi tidak berlaku pada kandidat, tapi tim sukses, sebagai supporting unit yang membantu mereka akan terlibat aktif dalam usaha perebutan lapak ekonomi yang tersedia jika calon mereka bisa memenangkan kontestasi.
Gejala ini ditelaah dikemukakan oleh politisi senior PDI – P, Pramono Anung Wibawo, dalam disertasinya, di Universitas Padjajaran tahun 2013. Dalam temuan penelitiannya ia menegaskan, bahwa motif pertama dari mayoritas orang terlibat dalam politik, terutama menjadi anggota legislatif, adalah motif ekonomi.
Meski kesimpulan ini hanya menguatkan hipotesis awam tentang motif berpolitik. Terutama, bila dikorelasikan dengan perwajahan politik Indonesia dewasa ini, tapi setidaknya ini pengakuan empirik dari seorang politisi tentang motif politik kebanyakan politisi.
Dengan motif ekonomi itu, logika yang digunakan dalam berpolitik pun adalah logika bisnis. Seperti logika mengenai penggunaan modal yang sekecil-kecilnya dengan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, atau modal sebesar-besarnya dengan mendapatkan keuntungan yang tak terbatas.
Meski terkesan kentara, motif ekonomi politik sukar dijangkau hukum. Ia bekerja di ruang ruang dialog tertutup antar elite. Muncul dalam menegosiasikan jabatan jabatan publik. Tidak sedikit melibatkan organisasi dan berbagai akses politik.
Dalam koridor kekuasaan, maka urusan kue kekuasaan menjadi urusan segelintir orang-orang itu saja yang mewarnai media dan kekuasaan. Dipastikan menggerogoti kapasitas demokrasi.
Sebab, demokrasi memuja kompetisi. Fairness. Nilai-nilai keadaban publik. Hal seperti ini, lenyap, dalam motif ekonomi yang dikuasai pemodal dan niat memperkaya diri, mirip yang terjadi dalam politik oligarki.
Fenomena ini telah diingatkan oleh Schumpeter yang menyatakan demokrasi muncul dengan sistem ekonomi kapitalis dan secara kausal berhubungan erat menjadi memiliki relevansi. Artinya, ada motif ekonomi dalam demokrasi.
Padahal peran rakyat dalam suatu masyarakat demokratis adalah tidak untuk memerintah, atau bahkan untuk menjalankan keputusan-keputusan umum atas kebanyakan masalah politik termasuk memanfaatkan politik untuk menambah kekuatan ekonomi.
Pendapat serupa dijelaskan oleh Anthony Down dalam teori ekonomi tentang demokrasi. Menurutnya, partai-partai politik dalam kehidupan politik demokratis sama dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba. Seperti halnya mengusahakan laba, mereka merumuskan politik apapun yang mereka yakini akan meraih suara terbanyak, persis seperti pedagang yang berusaha menghasilkan produk-produk yang diyakini akan memberikan keuntungan tertinggi dengan alasan yang sama.
Demokrasi yang demikian menyuburkan praktek politik uang (money politik) dan membebani ekonomi. Dalam demokrasi seperti ini maka hanya mereka yang memiliki kekayaan atau setidaknya didukung oleh pemilik kekayaan-lah yang dapat ikut serta dalam kontestasi politik. Bagi para oligark, maka siapapun yang berkuasa akan bekerja untuk memupuk dan melindungi kekayaan mereka.
Pada akhirnya, motif ekonomi dalam berbagai prakteknya tetap dinilai sebagai atraksi demokrasi yang menimbulkan peluang “korupsi” sehingga perlu ditekan melalui instrumen bernama hukum. Jika tidak, oligarki politik dan ekonomi akan makin sulit dipisahkan.
(Penulis merupakan Pengamat)
Komentar