Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
EcoReview – Di daerah perkotaan bisnis reklame berupa Megatron, Bando, Bilboard, Neon Box, Spanduk dan Baliho berkembang pesat. Hal ini dikarenakan peredaran uang sektor ini cukup besar. Selain cuannya besar, banyak pula kepentingan yang bermain di dalamnya, baik untuk publikasi pemerintah dan swasta maupun kepentingan politik.
Menghadapinya, mau tak mau, penataan reklame di Kota Jambi perlu dilakukan untuk menciptakan suasana kota lebih indah dan tidak dipenuhi oleh papan reklame atau baliho-baliho besar, berdekatan, bahkan berhimpitan, bagaikan hutan reklame.
Terus terang masalah reklame ini, saya belum melihat visi Walikota Jambi untuk menatanya secara lebih baik, kecuali visi untuk menambah pajak pada reklame, padahal idealnya, pajak reklame dan penataan harus jalan beriringan.
Hari ini hampir di semua kota, termasuk Kota Jambi penataan reklame menjadi isu krusial yang tak kunjung tuntas. Masalah yang bisa membuka peluang terjadinya korupsi dan semerawutnya tata Kelola pemerintah daerah.
Isu tentang reklame menghangat di Kota Jambi saat Tim Koordinator Supervisi Pencegahan (Korsupgah) Komisi Pemberantasan korupsi (KPK) pertanyakan reklame bando yang masih berdiri tegak meski tahun sebelumnya sudah ditertibkan.
Publik Jambi sebenarnya telah lama mengungkapkan kekesalannya melihat penataan kawasan jalan yang dipenuhi Reklame.Kekesalan ini beralasan karena menjamurnya reklame di kota Jambi membuat kawasan terkesan kumuh dan kurang tertata.
Walikota Jambi sebenarnya bisa membuat gebrakan dengan tidak memberikan izin baru untuk memasang reklame atau baliho besar di seluruh wilayah kota. Selain itu pemilik papan reklame yang sudah mendapat izin dari pemkot tak akan diperpanjang kontraknya, sampai ada penataan lebih lanjut.
Lalu Walikota bisa saja membuat aturan iklan hanya boleh dipasang di layar LED, dengan menerapkan sistem bagi hasil 70-30 dengan biro iklan. Sebanyak 70 persen untuk Pemkot dan sisanya diserahkan kepada biro iklan.
Selanjutnya, bisa saja Walikota Jambi menaikkan pajak reklame dua kali lipat, tujuannya tentu saja penertiban, karena sejumlah biro iklan juga akhirnya gulung tikar karena tak kuat membayar biaya sewa reklame.
Namun belajar dari Surabaya, kebijakan ini mulai membuahkan hasil. Selain pendapatan pemkot bertambah, jumlah reklame dan baliho di sudut-sudut Kota akan berkurang.
Namun, jika menunggu Walikota yang lamban, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jambi bisa saja mengesahkan revisi peraturan daerah tentang penyelenggaraan reklame dan pajak reklame. Pemberlakuan perda ini diyakini bisa menertibkan carut marut pemasangan reklame di Kota Jambi.
Namun sebelumnya harus dipastikan dalam perda itu nanti memuat aturan tentang, misalnya aturan jarak papan reklame atau billboard yang tadinya kurang dari 50 meter menjadi 150 meter. Selain itu, soal aturan yang melarang pemasangan iklan rokok pada billboard untuk melindungi anak-anak dari pengaruh iklan rokok.
Begitu pula dengan fasilitas umum yang harus difungsikan sebagaimana mestinya. Tidak boleh lagi memasang billboard pada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) atau dikenal dengan istilah reklame Bando.
Tantangannya, semua pihak harus bersinergi, tidak hanya pemerintah saja, masyarakat juga harus bisa bersinergi. Wali Kota Jambi, bisa saja memilih beberapa alternatif yang sudah dilakukan kota-kota lain dalam menata reklame. Tentu tidak semua pihak akan langsung setuju jika pemkot mengeluarkan kebijakan baru soal reklame. Terpenting adalah Pemkot Jambi bisa mengomunikasikan untung rugi menata reklame.
Terkait untung rugi ini, pemerintah kota Jambi pada tahun 2022 ini menargetkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari retribusi pajak reklame sebesar Rp22 Miliar lebih. Hanya saja target ini kurang diikuti dengan langkah penataan reklame yang makin menjamur tak terkendali.
Ketika Pemkot nantinya bisa membuktikan bahwa penataan reklame justru menambah pendapatan pemkot dan membuat kota makin indah, maka lambat laut semua pihak akan mengacungkan jempol. Sebaliknya kalau Pemkot Jambi tersandera oleh kepentingan-kepentingan tertentu maka selamanya tidak akan pernah ada penataan reklame, dan Kota Jambi akan tetap menjadi hutan reklame.
(Penulis merupakan pengamat)
Komentar