Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
“Beberapa orang mengubah partai mereka demi prinsip mereka; yang lain, mengubah prinsip mereka demi partai mereka.” – Winston Churchill
Politik adalah pilihan, sebuah kebebasan bagi tiap individu untuk memasuki suatu partai. Dalam tataran filosopis, politik dikaji sebagai strategi, dipadankan, dan dibandingkan dengan strategi perang dan tarung, dari Sun Tzu, Musashi atau Machiavelli sekalipun.
Di Provinsi Jambi, strategi politik Kepala daerah hari membentuk trend atau kecendrungan untuk tampil menjadi ketua partai politik di tingkat provinsi. Kecendrungan ini menurut saya merupakan formasi awal dari skenario koalisi pemilihan Gubernur Jambi 2024 nanti.
Fenomena bupati dan walikota menjadi ketua partai politik di Jambi bukanlah sesuatu yang baru. Ini keniscayaan, karena sebagai orang yang memegang jabatan politik, menjadi pimpinan partai merupakan kekuatan yang membedakan mereka dengan bupati atau walikota lain atau politisi lainnya.
Trend ini dipandang bagian dari penetrasi kekuasaan yang terkonsolidasi secara formal melalui saluran partai politik. Sesuai dengan pendapat Schedler, 2001, bahwa partai politik sebagai aktor utama dalam masyarakat politik hanyalah salah satu komponen dari konsolidasi demokrasi.
Selain itu, meski prosesnya tak selalu linear, para kepala daerah itu yakin dengan mengambil partai mereka memiliki modal politik untuk masa depan karir politik mereka. Semacam ada keyakinan akan tiket politik ke depannya.
Sebelumnya ada nama almarhum Asad Syam Bupati Muaro Jambi yang memegang kendali DPD Partai Demokrat Provinsi Jambi. Sehingga ketika Cek Endra Bupati Sarolangun menjadi Ketua Golkar, Fadhil Arief mengambil PPP, lalu Walikota Jambi Sy Fasha berlabuh ke Nasdem serta Mashuri menjadi ketua Demokrat, keputusan ini bukan hanya dipandang sebagai trend tapi bagian upaya konsolidasi. Baik untuk pribadi mereka maupun bagi partai politik yang mereka pimpin.
Tentu saja ini bisa dinilai sebagai fase persiapan menyongsong Pilkada 2024, skenario konsolidasi para kepala daerah itu. Merujuk data survei elektabilitas di Pilgub 2020 lalu, hari ini hanya ada dua nama yang memiliki kans elektoral untuk maju sebagai calon Gubernur. Pertama, sang petahana saat ini Al Haris, dan yang ke dua, Sy Fasha Walikota Jambi.
Meski masih lama 2024 nanti, ke dua nama ini memiliki kans kuat untuk kembali tampil berkompetisi. Pasca, permainan yang mengenaskan dalam upaya mencari perahu di pilgub 2020 lalu, yang membuat Sy Fasha terkapar urung berlaga. Walikota Jambi ini langsung melakukan konsolidasi penting dengan jalan mengambil kepemimpinan Partai Nasdem. Di atas kertas Sy Fasha kini memiliki partai sebagai modal dukungan maju di pemilihan Gubernur 2024 mendatang.
Lalu, bagaimana dengan Gubernur Al Haris ?, tentu saja sebagaimana petahana ia memiliki banyak kelebihan untuk menyonsong 2024 nanti. Meski tidak mengambil satu partai politik pun, Haris tetap masuk ke PAN salah satu partai pengusungnya sebagai Ketua MPP. Hari ini apapun ceritanya Haris tetap calon terkuat yang memiliki modal politik dan sosial terbesar di 2024 nanti.
Pertanyaanya, target politik apa yang dikejar para bupati seperti Fadhil Arief dan Mashuri mengambil partai? Jawabannya tentu bagian skenario dari pilgub 2024 itu sendiri.
Meski cair dan politik 2024 memiliki konstelasi yang bisa berubah, namun setidaknya dengan memiliki partai mereka memiliki nilai tawar dan kuasa untuk ikut menentukan terbentuk koalisi calon Gubernur mendatang termasuk penentuan calon bupati dan walikota di 2024 nanti.
Pilihan para bupati dan walikota pemegang partai politik ini tentu menantang dan variatip, jika memungkinkan tentu saja ada keinginan mereka dan para pendukung untuk maju di pilgub nanti, namun jika belum memungkinkan posisi wakil gubernur tetap menarik, apalagi untuk kepala daerah yang sudah periode ke dua masa jabatannya. Pilihannya tak banyak, pensiun melanjutkan karir ke legislatip atau berkompetisi untuk gubernur atau wakil gubernur.
Kenapa ada pernyataan kondisi belum memungkinkan. ! Kita maklum, para bupati dan walikota ini orang pintar dan pengalaman, tahu betul peluang mereka dalam ukuran elektabilitas, realitas politik saat itu, termasuk kesiapan isi tas menghadapi medan tempur di 11 kabupaten kota, dibanding pengalaman mereka di kabupaten atau kota yang mereka pimpin.
Masalah antri untuk posisi wakil gubernur ini cukup ramai, selain Mashuri, Fadhil Arief dan Sy Fasha yang memiliki partai, para kepala daerah lain juga memiliki kekuatan yang tak bisa di anggap enteng. Sebut saja Bupati Tanjabtim Romi Haryanto, selain bupati dua periode, sosok Romi dikenal gaul dan diterima. Lalu ada nama Adirozal Bupati Kerinci, terakhir ada nama Masnah Busro Bupati Muaro Jambi dan Cek Endra dan Bupati yang juga harus diperhitungkan.
Secara formasi politik sebagian besar para bupati ini bagian dari pondasi yang memenangkan Al Haris, mereka ada Romi Haryanto, Masnah Busro, Mashuri, Adi Rojal. Lalu di blok ke dua yang mungkin ada irisan dengan skenario Sy Fasha adalah Fadhil Arief. Meski ini hanya prediksi, tapi peta hari ini kecenderungan komunikasi Sy Fasha dan Fadhil Arief itu ada.
Tentu diluar nama – nama itu masih banyak nama lain, yang bisa diperhitungkan, sebut saja Edi Purwanto Ketua PDI – P, Sutan Adil Hendra Ketua Gerindra, Bakri Ketua PAN, Syofian Ali Ketua PKB, dan nama Wakil Gubernur Abdullah Sani. Namun nama – nama tersebut, selain disibukan dengan tugas di DPR, DPRD dan pemerintahan, juga belum terlibat dalam formasi politik yang menjadi tema tulisan ini.
Namun sekali lagi politik itu cair, susah diprediksi, ditengah jalan bisa saja ada perubahan formasi terjadi. Bisa saja nanti Haris – Fasha berpasangan, atau Fasha – Mashuri yang akan maju Melawan Haris – Romi, semuanya masih menunggu bagaimana ” persilatan ” terjadi.
Apa yang terjadi hari ini adalah fenomena yang disebut Bullock dan Trombley, bahwa politik sebagai integrasi kuasa, moralitas, dan kepentingan pribadi ke dalam kebijakan dari yang mungkin atau kesempatan. Ada kepentingan diantara berbagai peluang yang ingin para kepala daerah itu mainkan.
Dalam pemahaman ini usaha politik tak lepas demi kemenangan partai, golongan, kelompok, bahkan pribadi tertentu saja. Politik adalah gelanggang pergulatan antar partai, antar kelompok, antar banyak orang, atas nama kepentingan di banyak ruang sosial ekonomi dan budaya saling terkait satu sama lain. Dari sini pemahaman kita sampai pada politik sebagai suatu pertarungan. Dan pertarungan 2024 sesungguhnya telah dimulai dari formasi awal yang terbentuk.
(Penulis merupakan Peneliti LKPR Riset and Consulting)
Komentar