Oleh: Amri Ikhsan
Salah satu pekerjaan yang paling kompleks dan ‘rumit’ di dunia adalah mengajar. Pekerjaan ini tidak hanya menguras energi, pikiran tapi juga ‘meningkatkan’ tensi emosi guru.
Bukan hal ‘aneh’ bila guru sering menahan emosinya agar tidak jengkel, marah, atau malah bingung. Yang pasti, semakin ‘dekat’ guru dengan siswanya, semakin meningkat keterlibatan emosi guru tersebut. Begitu sebaliknya, semakin ‘renggang’ hubungan guru dengan siswa, semakin ‘sedikit’ emosi guru yang keluar.
Sebenarnya, emosi terbagi dua yaitu emosi positif, emosi yang menyenangkan dan emosi negative, emosi yang tidak menyenangkan(Kemdikbud). Emosi positif misalnya senang, gembira, heran, puas, lega, bersyukur, bangga, rileks, dll.
Sementara itu, emosi negatif contohnya takut, marah, sedih, dan lain sebagainyal.
Harus diakui, mengajar tidak sekadar menuntut bergerak secara fisik, tetapi juga emosional. Ketika berada di kelas, guru bergerak aktif; menjelaskan materi pembelajaran, memberi dan memeriksa tugas siswa, memonitor kegiatan siswa, bergerak dari satu meja ke meja lain, bahkan kadang juga keluar kelas memantau kegiatan siswa diluar kelas.
Mengajar juga membutuhkan keterlibatan emosional guru. Ketika berada di kelas, guru pasti berharap siswa bisa mengikuti pembelajaran dengan baik. tetapi sering terjadi, ada ‘permasalahan’ dalam pembelajaran: siswa ribut, mengganggu temannya, siswa tidak memperhatikan pelajaran, asyik main sendiri, menyontek tugas teman, usil dengan temannya, dll.
Disisi lain, tugas guru tidak hanya mengajar, guru juga dibebani dengan tugas administrasi, membuat RPP, kisi-kisi dan soal untuk PH, PAS, PAT, US, AKM, dll, membuat laporan kegiatan pembelajaran, mendapat tugas tambahan dan berbagai tugas adminstrasi lainnya, yang semuanya itu menyita banyak waktu dan energi. Sebenarnya, tugas-tugas administrasi sama beratnya dengan mengajar dan itu harus dikerjakan sebagai bahan evaluasi kinerja guru.
Disamping itu, guru juga harus melakukan, pada era digital, presensi online, tidak boleh sedikitpun boleh terlambat atau pulang sebelum waktunya. Semuanya tercatat dalam aplikasi tersebut. Memang, guru, agar bisa selamat dari presensi itu, harus bekerja seperti ‘malaikat’.
Dave Meir (2000) mengatakan bahwa emosi berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas pembelajaran. Emosi positif dapat mempercepat proses pembelajaran dan mencapai hasil yang lebih baik. Sebaliknya emosi negatif dapat memperlambat proses pembelajaran atau bahkan menghentikannya sama sekali. (Dave Meir, 2000). Jadi, pembelajaran haruslah dimulai dengan menciptakan emosi positif.
Harus diakui bahwa setiap hari, guru menghadapi berbagai emosi, baik negatif maupun positif. Emosi-emosi itu datang silih berganti. Tapi, kalau guru terus menunjukkan emosi positif akan membuat diri tenggelam ke dalam toxic positivity, kondisi ketika seseorang menuntut dirinya sendiri atau orang lain untuk selalu berpikir dan bersikap positif serta menolak emosi negative (Alodokter).
Seseorang yang hanya menginginkan toxic positivity dan menghindari emosi negatif, seperti sedih, marah, atau kecewa, akan terlena dengan perasaan waktu itu, padahal perasaan bisa berubah, kondisi dan suasana bisa berganti. Dia lupa bahwa emosi negatif juga penting untuk dirasakan dan diekspresikan.
Benar bahwa emosi itu keluar sebagai bentuk reaksi dari keadaan, suasana, kondisi yang menimpa kita. Jadi, mengeluarkan emosi sesuai kondisi adalah suatu hal yang biasa. Menurut Scientific American, selain penting untuk kesehatan mental, memvalidasi, menulusuri dan melakukan kegiatan ‘kontra narasi’ emosi negatif juga memiliki manfaat:
Pertama, membantu merasa lebih baik, Dengan mengakui emosi negatif, guru bisa mengeluarkan segala keresahan yang ada dalam diri. Misalnya, saat kecewa terhadap suatu hal, ungkapkanlah dengan menasehati siswa. Nasehat ini merupakan perasaan yang tervalidasi sehingga perlahan bisa menerima keadaan yang telah berlalu. Memberikan kesempatan untuk merasakan emosi negatif juga dapat meningkatkan semangat mengajar. Biasanya, setelah meluapkan emosi negatif, perasaan lega akan segera muncul karena beban yang selama ini dipikul sudah keluar.
Kedua, membantu meningkatkan produktivitas Perasaan negatif, seperti sedih, merasa gagal, dan kecewa dapat meningkatkan produktivitas karena ia membantu kita sadar akan kesalahan. Artinya, melalui perasaan itu, tubuh memberi sinyal bahwa harus ada sesuatu yang diubah. Dengan mengakui keberadaannya, berarti kita peduli terhadap kelemahan diri. Setelah berhasil mengeluarkan emosi negatif, tentu guru akan merasa tenang dan lega. Perasaan itulah yang akan meningkatkan semangat untuk produktif.
Biasanya, perasaan emosi yang berupa kesedihan ataupun kekecewaan cenderung berlangsung lama. Emosi selalu menyertai perilaku seseorang (Baqi, 2015). Biasanya, orang yang sedang marah akan tampak dari perilakunya, seperti melotot, mengucapkan kata-kata kasar, bahkan dapat memukul orang yang dikenai marah. Sehingga dapat kita lihat bahwa emosi negatif sangat merugikan jika kita tidak bisa mengendalikannya.
Bagi guru, emosi negatif harus dikonversi ke arah yang positif: 1) marah, boleh marah ke siswa, tapi munculkan kemarahan ‘akademik’, marah yang membuat siswa belajar; 2) sumpah, silakan siswa ‘disumpahi’, tapi berikan sumpah positif, ‘sumpah siswa agar menjadi orang yang berhasil’: ‘Saya sumpah kamu agar menjadi ‘presiden’; 3) berkata kasar, boleh berkata kasar kepada siswa tapi dilakukan secara tidak langsung dan tidak mempermalukan siswa di depan umum; 4) melotot, tidak apa apa memplototi siswa, tapi bukan fisiknya tapi hasil kerjanya.
Kalau emosi negatif itu berada dalam diri guru yang tidak bisa divalidasi ke siswa, maka tidak ada jalan lain guru harus membuat usaha ‘kontra narasi’: banyak belajar, berdiskusi dengan kolega, membaca buku, menulis KTI, dll
Memang, hidup tanpa emosi akan membosankan (Hilgard). Apa jadinya hidup kita seandainya tidak ada kebahagiaan, kesedihan, kemarahan, harapan, kebencian, maka segala sesuatu akan tampak datar dan hambar.
Artinya, tidak banyak variasi hidup yang bisa dilakukan, tak banyak kegiatan kehidupan yang bisa diungkapkan sehingga kita dapat dengan leluasa menginterpretasikan perilaku orang lain dan ini akan membawa akibat silaturrahmi akan terganggu.
Alangkah beruntungnya manusia mempunyai emosi, dan mampu memanfaatkan untuk produktivitas kehidupan.
(Penulis adalah seorang pendidik di Madrasah)
Komentar