Oleh: Yulfi Alfikri NoerS.IP., M. AP *
Ungkapan “Pemilih Cerdas, Pemimpin Berkualitas” menegaskan hubungan erat antara kualitas pemilih dan kualitas pemimpin yang dihasilkan.
Maksudnya, pemimpin yang baik dan berintegritas akan muncul jika pemilih menggunakan hak pilihnya dengan bijak, berdasarkan pengetahuan, analisis, dan pemahaman mendalam tentang kandidat yang dipilih.
Pemilih cerdas mempertimbangkan aspek-aspek penting, termasuk rekam jejak dan latar belakang calon pemimpin, sebelum mengambil keputusan.
Kualitas seorang pemimpin diukur melalui integritas, kompetensi, rekam jejak, visi, serta kemampuannya dalam melayani masyarakat. Seorang pemimpin harus memiliki moral yang baik, mematuhi hukum, dan menjadi panutan bagi rakyatnya.
Jika seorang calon pemimpin memiliki masa lalu sebagai pecandu narkoba, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah mereka telah berhasil menjalani rehabilitasi, memperbaiki hidupnya, dan membuktikan diri sebagai individu yang mampu bertanggung jawab serta memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Namun, isu moralitas bukanlah satu-satunya aspek yang dipertimbangkan. Stigma sosial terhadap narkoba masih sangat kuat di banyak komunitas. Bahkan jika seorang mantan pecandu telah pulih, stigma ini sering melekat dan menghambat upaya mereka untuk mendapatkan kepercayaan publik.
Publik kerap merasa bahwa masa lalu sebagai pecandu narkoba mencerminkan ketidakstabilan moral atau kelemahan dalam pengendalian diri, yang dapat merusak citra seorang pemimpin.
Lebih jauh, kekhawatiran lain muncul terkait stabilitas emosional seorang mantan pecandu narkoba.
Kepemimpinan adalah posisi dengan tekanan tinggi yang memerlukan pengambilan keputusan yang bijaksana dan pengendalian diri yang kuat. Dalam situasi ini, masyarakat khawatir akan risiko kambuh yang dapat mengganggu efektivitas seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya.
Dampak terhadap generasi muda juga menjadi perhatian penting. Sebagai figur publik, seorang pemimpin harus menjadi teladan. Jika seorang mantan pecandu narkoba memegang posisi kepemimpinan, hal ini berisiko memberikan pesan yang salah kepada generasi muda, seolah-olah perilaku bermasalah dapat dengan mudah diabaikan ketika seseorang beralih ke dunia politik.
Kekhawatiran ini memperkuat resistensi publik terhadap calon pemimpin dengan riwayat semacam itu.
Secara keseluruhan, riwayat calon pemimpin sebagai mantan pecandu narkoba dapat mengurangi kepercayaan publik, memperkuat stigma sosial, menimbulkan kekhawatiran terkait stabilitas emosional, serta mempertanyakan standar moral calon tersebut.
Oleh karena itu, pemilih perlu menyadari pentingnya memahami latar belakang calon pemimpin sebagai langkah vital dalam menentukan masa depan kepemimpinan.
“Pemilih Cerdas, Pemimpin Berkualitas” bukan hanya sekadar slogan, tetapi prinsip yang menegaskan pentingnya analisis kritis terhadap kandidat, termasuk riwayat masa lalunya.
Dengan menggunakan hak pilih secara bijak dan mempertimbangkan semua aspek, pemilih dapat mendorong lahirnya pemimpin yang tidak hanya kompeten dan berintegritas, tetapi juga mampu menjadi teladan bagi masyarakat.
Pada akhirnya, hanya melalui keputusan yang cerdas dan kritis kita dapat berharap menghadirkan pemimpin berkualitas yang membawa perubahan positif, membangun masyarakat yang lebih baik, dan mewujudkan harapan bersama untuk masa depan yang lebih cerah bersinar (bersih dari narkoba). (*)
*) Akademisi UIN STS Jambi