Oleh: Musri Nauli
Setelah menikmati kenyaman Jambi – Bangko, merasakan jalur balik Bangko – Jambi menemukan sensasi sendiri.
Setelah urusan selesai sekitar jam 11.30, rencana hendak memacu kendaraan kembali ke Jambi sempat tertunda.
Panggilan telephone dari rekan sejawat yang hendak mampir ke kantor Bangko kemudian membuat saya kembali memutar kendaraan. Kembali ke kantor.
Pembicaraanpun mengalir. Sembari membicarakan “suasana” politik terkini di Bangko, menyambut hajat Pilkada yang akan datang, wacana “pejabat pengganti” Bupati menjadi tema yang cukup intens didiskusikan lebih lanjut.
Haripun mulai hangat. Kipas angin “seakan-akan” tidak mampu menghalau teriknya matahari.
Setelah selesai diskusi panjang, kulirik jam di dinding. Sudah menunjukkan pukul 14.30.
Aku mulai “merasa terancam”. Bagaimana hendak pulang ke Jambi. Apakah akan “terjebak” di antrian panjang angkutan batubara.
Namun akupun pasrah. Sembari menarik nafas. Akupun duduk diam.
Sekitar pukul 15.00 wib akupun mulai starter kendaraan. Mencoba “peruntungan nasib”.
Belum jauh berjalan, malah aku sudah terjebak “macet”. Mobil yang menjemput siswa SMP 4 Bangko membuat jalannya macet total.. Terjebak panjang. Praktis hampir 30 menit. Kendaraan sama sekali tidak Bergerak.
Setelah melewati SMP 4 Bangko, akupun pasrah. Apapun yang terjadi, bahkan kalaupun mesti harus menginap di Sarolangun, akupun pasrah.
Kendaraanpun dipacu. Sembari memastikan GPS yang kuaktifkan. “Kok cuma 5 jam”. Wah, kayaknya aman nih.
Sejam Bangko – Sarolangunpun membuat Aku belum tenang. Kuperkirakan menjelang Magrib menempuh Sarolangun – Tembesi disaat puncak-puncak kemacetan angkutan batubara. Puncak maut.
Menjelang Pauh, kulihat kendaraan batubara mulai “berguyur-guyur” kutemukan. Kendaraanpun pelan-pelan. Tidak bisa dipacu kencang.
Walaupun belum ditemukan antrian panjang, namun setiap mobil kuperkirakan 10 kendaraan membuat harus hati-hati untuk memotong antrian. Sembari melihat jalur jalan yang akan digunakan kendaraan lain.
Menjelang masuk Desa Gurun Tuo Simpang, kulihat lubang yang menganga. Menjelang masuk jembatan.
Tentu saja, kendaraanpun harus bergantian. Untuk melewati jembatan.
Belum lagi kulihat Kendaraan yang “tergolek”. Yang membuat kendaraan harus bergantian untuk melewati jembatan.
Lagi-lagi akupun pasrah.
Kendaraanpun dipacu. Kembali ditemukan kendaraan angkutan batubara. Rombongan yang membuat perjalanan agak tersendat. Apalagi melewati Mandiangin.
Menjelang Batas Sarolangun – Batanghari, kulihat kendaraan angkutan batubara antrian panjang.
“Waduh”. Jangankan di Tembesi. Dari batas saja, “ancaman maut” antrian batubara akan membuat macet lalu lintas.
Kucoba mengambil jalur kanan. Pelan-pelan. Sembari hati-hati melihat kendaraan arah berlawanan. Kulihat panjangnya antrian. Mungkin 3-4 km.
Namun alangkah kagetnya saya. Justru dibatas, kendaraan batubara memang tidak diperbolehkan dilewati angkutan batubara. Selain mobil Polantas yang “nangkring” dibatas, kendaraan dari Sarolangun memang belum diperbolehkan untuk jalan.
Setelah melewati batas, akupun belum tenang. Walaupun sudah banyak melewati “rintangan”, namun bagaimana nasib di ujung jalan ini.
Menjelang Durian Luncuk (Bating XXIV), kembali rombongan angkutan batubara dilihat. Belum lagi tanjakkan yang membuat antrian panjang. Kembali “jalur maut” menghantui.
Namun justru sebaliknya. Kembali angkutan batubara “memang belum diperbolehkan” bergerak. Sehingga rombongan angkutan batubara hanya “terparkir di pinggir jalan.
Kembali kuhitung. Beberapa tempat yang “kuperkirakan” maut, namun mampu dilewati. Diluar perkiraan.
Tinggal “memastikan” Kotobuayo yang terkenal dengan “jalur maut” dan antrian panjang.
Lagi-lagi saya kaget. Walaupun menjelang magrib melewati kotobuayo, namun kendaraan yang keluar dari mulut tambang, namun justru dipinggirkan di beberapa tempat lapangan. Ada 3-4 tempat lapangan yang penuh dengan angkutan batubara.
Jalanpun “lempang”.
Menjelang masuk Tembesi, sekitar 9 km kulihat GPS. Mengapa tanda Merah panjang hingga ke Tembesi ? Kulihat juga waktu tempuhnya. Hanya 9 km malah memakan waktu 27 menit.
Wah. Bisa maut nih. Kupikir saat itu.
Namun alangkah kagetnya saya. Salah seorang “Driver” justru menuntun saya untuk “menggunakan” jalur kanan. Agar tidak terjebak di kemacetan panjang.
“Pelan-pelan, bang”. Kata sang driver.
“Jangan ikut antrian”, katanya sembari melambaikan tangan.
“Terima kasih, bang”, katanya sambil teriak kegirangan.
Akupun mencoba pelan-pelan untuk mengambil bahu kanan jalan. Sembari melihat keadaan. Syukurlah bahu kanan jalan bisa dilewati. Sehingga bisa melewati antrian panjang angkutan batubara.
Pukul 19.30, akhirnya sampai di Tembesi. Akupun lega. Sembari “ngaso”, mengingat mesin yang cukup lama digunakan, akupun “rehat”.
Kuhitung-hitung waktu dari Bangko. Wah. 3 jam dari Bangko – Tembesi di jam “maut” merupakan sebuah berkah. Belum lagi dari Sarolangun – Tembesi berkisar 2 jam merupakan sebuah anugerah tersendiri.
Dengan Santai dari Tembesi – Bulian yang dahulunya terkenal “jalur maut”, justru sama sekali tidak ditemukan antrian angkutan batubara.
Dari perjalanan Bangko – Jambi, akupun melihat bagaimana “masalah ini” dapat diatasi.
Pertama. Perintah Al Haris sebagai Gubernur Jambi, yang menetapkan kendaraan mulai bergerak sejak 18.00 wib dari mulut tambang salah satu solusi jitu.
Kalaupun ada kendaraan yang sudah keluar, maka “ditampung dulu” di Lapangan yang disiapkan. Atau dengan kata lain tidak dibenarkan untuk bergerak.
Angkutan Batubara di Kotobuayo tidak dibenarkan bergerak sebelum jam 18.00. Begitu juga dari Sarolangun.
Sehingga “kantong-kantong” penampungan angkutan batubara adalah solusi sehingga jalur Sarolangun – Tembesi dapat ditempuh dengan kendaraan normal.
Kedua. Dipastikan, habisnya kendaraan angkutan batubara dari Kotobuayo, barulah diizinkan angkutan batubara dari Sarolangun dibenarkan untuk bergerak.
Ketiga. Mulai mulusnya jalan-jalan Sarolangun Batubara. Dari pengamatan saya, tinggal Simpang Karmeo – Simpang Jebak yang Masih memerlukan perbaikan. Sehingga “perbaikan” yang sedang dikerjakan dapat dituntas akhir tahun.
Selain itu, praktis jalannya mulus yang akan memudahkan angkutan batubara untuk menempuhnya.
Keempat. Sumbangsih “kantong-kantong” kendaraan di sepanjang jalan Sarolangun – Tembesi cukup membantu. Sehingga “apabila adanya” macet di Tembesi, maka kendaraan di belakangnya dapat “disimpan dulu’ di kantong-kantong kendaraan.
Akupun tersenyum melihat “kemajuan” besar mengatasi problema angkutan batubara. Masalah yang menyita perhatian Pemerintah Provinsi Jambi.
Terlepas jalan Sarolangun – Tembesi merupakan jalan negara sembari menunggu “siapnya” jalur alternatif angkutan batubara, perjalanan ke Bangko praktis mampu menyelesaikan sebagian masalah.
Dan Puji Tuhan selalu saya sampaikan. Yang kebetulan akhir-akhirnya perjalanan dinas ke Bangko akan terus ditempuh.
Terima kasih, Pak Gub. Terima kasih wo Haris.
(Penulis merupakan Advokat yang tinggal di Jambi)
Komentar