Oleh: Musri Nauli
“Bang, bang Fahmi dirumah sakit Umum”.
“Bang, ketuo Fahmi meninggal di rumah sakit umum”.
Badan sedang rebahan kemudian tersentak bangkit. Bak Berita “halilintar” di siang Bolong.
Rasanya tidak percaya mendapatkan telephone dari beberapa orang Jurnalis. Mengabarkan Nurul Fahmi (fahmi/Ketuo) sedang berada di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher.
Panggilan “Ketuo” semata-mata karena memang dia sedikit dituokan. Sedangkan panggilan “buya” entah darimana asalnya. Yang pasti, kadangkala aku juga sering memanggilnya. Buya.
Teringat sakitnya setahun yang lalu. Dia tergeletak dirumah. Kemudian dibawa istrinya ke rumah sakit kota.
Kamipun bergegas. Menuju ke rumah sakit Kota. Tidak lupa membawa perlengkapan dan beberapa kebutuhan.
Pilihan kemudian disepakati. Untuk memudahkan, maka kemudian dipindahkan ke rumah sakit umum Raden Mattaher.
Fahmi kemudian dirawat. Dan kamipun mendapatkan kabar yang menggembarkan. Jantungnya bermasalah.
Kenangan setahun yang lalu selalu menghantui. Kamipun berfikir, ketua Fahmi “agak keras Kepala” untuk menjaga kesehatannya.
Belum hilang ingatan setahun yang lalu, telephone dari teman-teman kembali mengingatkanku. Mengabarkan berita duka.
Memang akhir-akhir ini, selama 2 tahun, praktis kami selalu Bersama. Entah nongkrong di Posko pemenangan ataupun urusan lain.
Dia memiliki “keunikan”. Argumentasinya tajam. Bahkan untuk mempertahankan pendapatnya, kami harus berdebat keras.
Dia salah satu Jurnalis yang paling teliti didalam menilai opiniku. Setiap bait-bait kata dan bahkan kalimat disusuri. Bak mencari benang jarum. Sehingga tulisanku harus melewati “proses editing” yang ketat.
Teringat tulisanku beberapa waktu yang lalu. Waktu itu aku mengkritik penggunaan kata “Jambi kota Seberang”. Sebuah penempatan yang tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia.
Ditangan Fahmi, Opini itu kemudian menjadi viral. Dan diakui sendiri oleh Fahmi, opini itu menjadi fenomenal. Hingga kini Masih dirujuk dan dibaca.
Sayapun kemudian mengetahui. Opini yang menarik dan kemudian menjadi viral adalah kekuatan dari media itu sendiri.
Dari Fahmi kemudian aku mengetahui. Itulah istilah “keyword organik”.
Sehingga media Fahmi yang menjadi fenomenal “inilah Jambi” selalu mendapatkan rangking Alexa.
Aku sendiri lupa kami mulai berteman. Yang kutahu dia adalah aktivis sastra. Tulisannya tajam.
Meminjam istilah teman “bak sayat sembilu. Mengiris-mengiris. Pedih”.
Namun yang kukaguminya adalah “rasa pertemanannya”. Entah berapa banyak teman yang membuktikan dia bukan orang Sembarang.
Aku sendiri kadangkala geram dengan sikapnya yang “rasa solider tinggi”. Entah berapa teman yang pernah meninggalkannya. Namun dia tetap membuka pintu maaf. Sebuah sikap yang masih sulit kuikuti.
Beberapa tahun yang lalu. Dia dengan beberapa teman-teman IWO datang kerumah. Semula kunjungan biasa.
Namun ternyata ada peristiwa Penting. Aku diminta untuk menjadi Pengurus IWO Provinsi Jambi. Sejak itu komunikasi bahkan tidak terputus.
Entah berapa kali aku harus mendampingi teman-teman Jurnalis yang mengalami pemeriksaan. Baik dalam proses hukum maupun urusan lain seperti “nasehat hukum”.
Dedikasinya terhadap Jurnalis dan liputan berita harus diakui. Ditangannya aku banyak mendapatkan pelajaran bagaimana melihat sebuah peristiwa dari berbagai pendekatan.
Dua tahun terakhir kami memang sering kumpul. Hanya dia yang sering jarang pulang.
Entah apa saja yang dikerjakan. Mengotak-atik websitenya, mengolah berita bahkan kadangkala membuat opini yang kadangkala diluar pemikiran kita.
Dari Sanalah aku mendapatkan kesan. Gaya hidup yang sedikit berantakan, jarang makan pagi, jarang minum air putih, merokok dan ngopi yang tiada henti membuat fisiknya menurun.
Entah berapa kali kami harus mengingatkannya.
Namun sikap keras kepalanya membuat kadangkala kami harus mengalah.
Tapi kadangkala “menggunakan power istri”, kami harus “memaksa” dia harus pulang. Istirahat.
Kadangkala nasehat “dituruti”. Namun entah basa-basi, dua hari malah kemudian “nongol” di Posko. Kamipun kadangkala geleng kepala dengan sikap kerasnya. Selain hanya menghibur dengan tertawa keras.
Setelah Pilgub usai, ada “anjuran” agar dia kembali berobat. Dan kutahu, proses itu sedang berlangsung.
Praktis ada kemajuan. Tubuhnya mulai sehat.
Mendapatkan kabar dia maju menjadi Komisoner KIP Jambi, kamipun bergembira. Mungkin dengan dia memilih menjadi komisioner dia mengambil pilihan yang tepat.
Setiap proses yang dilalui memberikan kabar gembira. Dia lolos dari proses administrasi, proses politik di DPRD dan kemudian lolos 5 besar dan kemudian dilantik.
Malam hari setelah pelantikan, akupun memberikan selamat. Dia meminta doa syukur. Sekaligus mengajak kawan-kawan untuk makan-makan. Sekaligus merayakan.
Namun nasib berkata lain.
Teman debat yang paling keras akhirnya nasib berkata lain.
Tuhan memanggil lebih cepat dari yang diperkirakan kita semua.
Selamat jalan, Wo Fahmi.
Selamat jalan, buya Fahmi.
Setiap Langkah perjalanan yang telah dilalui akan dikenang oleh sahabat-sahabatmu.
(Penulis merupakan Advokat yang tinggal di Jambi)
Komentar